يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Surah Al Hujuraat : 11)
Dalam ayat tersebut Allah secara tegas melarang orang-orang yang beriman khususnya juga ummat manusia pada umumnya untuk saling merendahkan atau memperolok satu sama lain, dalam ayat tersebut ditegaskan larangan bagi sekelompok orang dengan kata “Qoumun” yang mana mengandung makna universal antara laki-laki dan perempuan, walaupun biasanya lebih digunakan untuk menunjukkan sekelompok orang laki-laki, dan kemudian dipertegas dengan larangan kepada sekelompok orang perempuan dengan kata “Nisaa’un” yang mempunyai makna khusus yaitu sekelompok orang perempuan. Jadi dilihat dari aspek tersebut jelaslah bahwa larangan tersebut adalah larangan yang universal baik itu laki-laki maupun perempuan.
Allah SWT. melarang kita untuk saling merendahkan satu sama lain karena bisa jadi orang yang kita rendahkan itu derajatnya lebih tinggi disisi Allah SWT. karena kedudukan orang disisi Allah SWT. tidak dilihat dari bentuk rupa fisiknya akan tetapi dilihat dari kualitas keimanannya, semakin bagus kualitas keimanannya maka semakin tinggi derajatnya disisi Allah SWT.
Kemudian dalam ayat tersebut dilanjutkan dengan larangan untuk mencela diri sendiri dan memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, yang mana maksudnya kita dilarang untuk mencela satu sama lain karena mencela orang lain sama artinya dengan mencela diri sendiri, dan juga kita dilarang memanggil orang dengan panggilan yang buruk yaitu panggilan yang tidak enak didengar. Allah SWT. melaknat orang yang suka mencela sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya : “Celakalah orang pengupat lagi pencela”. (QS. Al-Humazah : 1)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Jubairah bin adh Dhahak, ia berkata: “Firman Allah: “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk,” turun untuk kami Bani Salamah.” Abu Jubairah melanjutkan, “Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, kala itu setiap orang memiliki dua atau tiga nama. Siapa yang memanggil, nama-nama itulah yang dipakai. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia akan marah dengan nama itu. Kemudian turunlah ayat, “Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk” (HR Ahmad). Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Qurthubi)
(Ringkasan Tafsir Imam Al Qurthubi)
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). “
Pada penggalan ayat ini setidaknya ada empat masalah yang dibahas, yaitu:
Pertama :
Firman Allah SWT., “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)” Menurut satu pendapat, (maksudnya lebih baik) di sisi Allah SWT.
Menurut satu pendapat yang lain, (yang dimaksud dari firman Allah) : “Lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok),” adalah karena dia telah memiliki akidah dan telah memeluk agama Islam di dalam hatinya.
Kedua :
Terjadi perbedaan mengenai Asbabu Nuzul atau sebab turunnya ayat tersebut.
Pendapat pertama
Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini diturunkan pada Tsabit bin Qais bin Syams yang mempunyai gangguan pendengaran di telinganya. Apabila mereka mendahuluinya datang ke majelis Nabi SAW, maka para sahabat pun selalu memberikan tempat untuknya ketika dia datang, agar dia dapat duduk di samping beliau, sehingga dia dapat mendengar apa yang beliau katakan. Suatu hari Tsabit datang pada saat shalat Shubuh bersama Nabi SAW sudah berlangsung satu rakaat. Ketika Nabi SAW selesai shalat, maka para sahabat pun mengambil tempat duduknya di majelis itu. Masing-masing orang menempati tempat duduknya dan tidak mau beralih dari sana, sehingga tak ada seorang pun yang mau memberikan tempat untuk orang lain Akibatnya, orang yang tidak menemukan tempat duduk terpaksa harus berdiri. Ketika Tsabit telah menyelesaikan shalatnya, dia melangkahi leher orang-orang dan berkata, ‘Lapangkanlah, lapangkanlah’ Mereka kemudian memberikan kelapangan padanya, hingga dia sampai di dekat Nabi SAW. Namun antara dia dan Nabi SAW masih terhalang oleh seseorang. Tsabit kemudian berkata kepada orang itu, Lapangkanlah’ Orang itu menjawab, ‘Engkau telah menemukan tempat duduk, maka duduklah engkau.’ Tsabit duduk di belakang orang itu dalam keadaan yang kesal. Dia bertanya, Siapa orang ini?’ Para sahabat menjawab, `Fulan.’ Tsabit berkata, ‘Oh, anak si fulanah? “Tsabit mengejek orang itu dengan ungkapan tersebut. Maksudnya, apa statusnya pada masa jahiliyah. Orang itu pun menjadi malu, lalu turunlah ayat ini”.
Pendapat kedua
Adh-Dhahak mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada utusan Bani Tamim ketika mereka melihat keadaan para sahabat yang miskin seperti Ammar, Khabab, Ibnu Fahirah, Bilal, Shuhaib, Salman, Salim budak Abu Hudzaifah, dan yang lainnya, maka mereka pun mengejek orang-orang itu Maka turunlah ayat ini tentang orang-orang yang beriman dari orang-orang itu.
Mujahid berkata, “Olok-olokan tersebut adalah olok-olokan orang kaya terhadap orang miskin.”
Ibnu Zaid berkata, “Janganlah orang-orang yang dosanya ditutupi oleh Allah mengolok-olok orang-orang yang dosanya dinampakan olehAllah. Karena boleh jadi penampakan dosa-dosanya di alam dunia itu merupakan hal yang lebih baik baginya di akhirat kelak.”
Pendapat ketiga
Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang lkrimah bin Abi Jahl, saat dia tiba di Madinah dalam keadaan telah memeluk agama Islam. Saat itu, apabila kaum muslim melihatnya, maka mereka pun berkata, “(Dia) anak Fir’ aun ummat ini.” Ikrimah mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian turunlah ayat ini.
Secara global, seyogyanya seseorang tidak boleh berani mengolok-olok seseorang lainnya yang keadaannya terlihat memprihatinkan, atau mempunyai cacat di tubuhnya, atau tidak pintar dalam berkomunikasi dengannya. Sebab boleh jadi orang itu lebih tulus perasaannya dan lebih suci hatinya dari pada orang yang keadaannya berlawanan dengannya. Dengan demikian, dia telah menzhalimi diri sendiri, karena telah menghina orang yang dimuliakan Allah dan merendahkan orang yang diagungkan Allah.
Sesungguhnya para sahabat sangat memelihara diri mereka dari perbuatan yang demikian itu. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa Amru bin Syurahbil berkata, “Jika aku melihat seseorang menyusui anak anjing, kemudian aku menertawakannya, maka aku khawatir diriku akan melakukan apa yang dilakukannya.” Dari Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan: “Musibah itu disebabkan oleh ucapan. Jika aku mengolok-olok anjing, aku merasa takut akan berubah menjadi anjing”.
Ketiga :
Firman Allah SWT., “Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok).”
Allah menyebutkan kaum perempuan secara khusus, karena pengolok-olokan itu sering dilakukan oleh mereka. Allah SWT. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya.” (Qs. Nuh : 1).
Para mufassir berkata, “Ayat ini diturunkan tentang dua orang istri Nabi SAW yang mengolok-olok Ummu salamah. Pasalnya Ummu Salamah mengikat kedua bagian tengah (tubuh) nya dengan Sabibah, yaitu kain putih. Sesuatu yang seperti Sabibah adalah Sab. Setelah itu, dia menjulurkan ujung kain putih itu ke bagian belakang tubuhnya, sehingga dia menarik-nariknya. Aisyah kemudian berkata kepada Hafshah, `Lihatlah apa yang ditariknya di belakangnya. Itu seperti lidah anjing”. Inilah olok-olok kedua orang istri Nabi SAW tersebut.
Anas dan Ibnu Zaid, “Ayat ini diturunkan tentang istri Nabi yang mengejek Ummu Salamah karena (posturnya) yang pendek”.
Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan pada Aisyah yang memberi isyarat dengan tangannya kepada Ummu Salamah, (seolah-olah dia mengatakan): “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya dia itu pendek”.
Ikrimah mengutip dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Shafiyah binti Huyay bin Akhthab datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya perempuan-perempuan itu.mengejekku, dan mereka mengatakan kepadaku: “Wahai wanita Yahudi anak perempuan orang-orang Yahudi.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, Mengapa engkau tidak katakan: “Sesungguhnya ayahku adalah Harun, pamanku adalah Musa, dan suamiku adalah Muhammad”. Allah kemudian menurunkan ayat ini”.
Keempat :
Dalam Shahih At-Tirmidzi terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dan Aisyah. Aisyah berkata, “Aku memeragakan perbuatan seseorang kepada Nabi SAW, lalu beliau bertanya tentang apa yang membuatku ingin menirukan perbuatan orang itu, dan bahwa aku (melakukan) ini dan itu. Aku kemudian berkata, `Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Salamah adalah seorang wanita yang anu..’.” Aisyah memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Maksudnya, Ummu Salamah adalah wanita yang pendek. Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau telah mengatakan sebuah perkataan yang jika dicampurkan ke laut, niscaya ia akan mengeruhkannya.” (HR Abu Dawud)
Dalam Shahih Al Bukhari terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zam’ ah. Abdullah berkata, “Rasulullah SAW melarang seseorang menertawakan apa yang keluar dari dalam tubuh. Beliau bersabda, “Mengapa salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul kuda pejantan, kemudian dia memeluk istrinya itu.” (HR Bukhari)
Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah itu tidak memandang rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia memandang hati dan amal perbuatan kalian” (HR Muslim)
Hadits itu merupakan hadits yang agung. Jika berdasarkan kepada hadits itu, maka seseorang tidak dapat menetapkan aib seseorang lainnya, saat dia melihatnya melakukan ketaatan atau melakukan penyimpangan. Sebab boleh jadi orang yang suka mengerjakan perbuatan baik, namun karena Allah mengetahui bahwa di dalam hatinya ada sifat tercela, maka perbuatan baiknya itu menjadi tidak sah karena adanya sifat yang tercela itu.
Boleh jadi pula orang yang kita lihat suka melakukan dosa dan kemaksiatan, namun karena Allah mengetahui bahwa di dalam hatinya adalah sifat yang terpuji, maka Allah pun mengampuni dosa-dosanya. Dengan demikian, amaliyah hanyalah sebuah tanda yang bersifat tak-pasti, bukan dalil yang bersifat pasti.
Berdasarkan kepada hal itu, kita tidak boleh berlebihan dalam memuliakan orang yang kita lihat melakukan perbuatan shalih, juga tidak boleh menghina seorang muslim yang kita lihat suka mengerjakan perbuatan yang buruk. Dalam hal ini, yang harus direndahkan dan dicela itu adalah sifat buruknya dan bukan orangnya. Renungkanlah hal ini, sebab ini merupakan hipotesa yang detil. Kepada Allah lah kita memohon taufiq.
Kemudian penggalan firman Allah dalam ayat tersebut, “Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri.”
Dalam penggalan ayat ini setidaknya dibahas tiga masalah:
Pertama :
Al-Lamz adalah Al `Aib (cela). Ath-Thabari berkata, “Al-Lamz dapat dilakukan dengan tangan, mata, lidah dan isyarat. Sedangkan Al Hamz hanya dapat dilakukan dengan lidah.”
Ayat ini seperti firman Allah Ta’ ala, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (Qs. An-Nisaa’: 29).
Maksudnya, janganlah sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain. Sebab orang-orang yang beriman itu seperti jiwa yang satu, hingga membunuh saudaranya sama dengan membunuh dirinya sendiri. Juga seperti firman Allah SWT. :
“Hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri.” (Qs. An-Nuur : 61).
Maksudnya, (hendaklah) sebagian dari kamu (memberi salam) kepada sebagian yang lain. Makna firman Allah tersebut adalah: janganlah sebagian dan kalian mencela sebagian yang lain.
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah dan Sa’ad bin Jubair mengatakan (bahwa makna firman Allah tersebut adalah) : janganlah sebagian dari kalian memfitnah sebagian yang lain.
Adh-Dhahak berkata, “(Makna firman Allah tersebut adalah): janganlah sebagian dan kalian melaknat sebagian yang lain.”
Pada firman Allah: “Anfusakum” terdapat peringatan bahwa orang yang berakal itu tidak akan mencela diri sendiri. Maka tidak sepantasnya dia mencela orang lain, sebab orang lain itu seperti dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda : “Orang-orang yang beriman itu seperti tubuh yang satu. jika ada satu anggota tubuh yang mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan dengan tidak dapat tidur dan demam” (hadits dengan redaksi yang sedikit berbeda diriwayatkan oleh Muslim).
Bala bin Abdullah Al Muzani berkata, “Jika engkau hendak melihat semua cela, maka renungkanlah orang yang sangat banyak celanya. Sesungguhnya orang-orang akan mencela(nya) karena kelebihan cela (aib) yang ada padanya.”
Menurut satu pendapat, di antara kebahagiaan seseorang adalah jika dia sibuk dengan aib dirinya bukan dengan aib orang lain.
Seperti kata syair : “Jangan sekali-kali engkau membuka aurat orang yang telah mereka tutupi, Sebab Allah akan membuka penutup auratmu. Sebutkanlah kebaikan yang ada pada mereka, jika mereka menyebutkan. Dan janganlah engkau mencela seseorang dari mereka dengan mulutmu.”
Kedua :
Firman Allah SWT., “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Jabirah bin Adh-Dhahak, dia berkata, “Seseorang dan kami mempunyai dua atau tiga nama, kemudian dia dipanggil dengan sebagian nama itu, sehingga mungkin saja diaakan tidak senang. Maka turunlah ayat ini : `Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk’ .” At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hadits hasan”.
Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” Ini pendapat yang pertama.
Adapun pendapat yang kedua, Al Hasan dan Mujahid berkata, “Seseorang mencela (seseorang lainnya) setelah masuk Islam dengan kekufurannya: “Wahai Yahudi,” ‘Wahai Nashrani’, sehingga turunlah ayat ini. “Hal itu pun diriwayatkan dari Qatadah, Abu Al Aliyah dan Ikrimah. Qatadah berkata, “Itu adalah ucapan seseorang kepada seseorang lainnya: Wahai Fasik, wahai Munafik’.” Hal itu pun dikemukakan oleh Mujahid dan juga Al Hasan.
“Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” Maksudnya, betapa buruk jika seseorang disebut kafir atau pezina setelah dia masuk Islam dan bertobat. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Zaid.
Menurut satu pendapat, makna firman Allah tersebut adalah: bahwa orang yang memanggil saudaranya dengan panggilan yang buruk dan mengolok-oloknya adalah orang yang fasik.
Pendapat yang shahih (dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa makna firmanAllah itu adalah tentang) orang yang berkata kepada saudaranya: “Wahai Kafir.” Sebab salah seorang dari keduanya telah mengakui hal itu (kafir), jika memang orang yang dipanggil itu seperti yang dikatakannya. Tapi jika tidak, maka panggilan itu (kafir) kembali kepada orang yang mengatakannya”. (HR Bukhari).
Dengan demikian, barangsiapa yang melakukan apa yang dilarang oleh Allah yaitu mengolok-olok, mencela, dan memanggil dengan panggilan yang buruk, maka dia adalah orang yang fasik, dan hal itu merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan.
Diriwayatkan bahwa Abu Dzar ada di dekat Nabi SAW kemudian seseorang menentangnya. Abu Dzar berkata kepada orang itu, “Wahai anak orang Yahudi.” Nabi SAW bersabda, “Tidak terlihat merah dan hitam di sini. Engkau tidaklah lebih baik darinya,” maksudnya (kecuali) karena ketaqwaan. Lalu turunlah ayat: “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”.
Ibnu Abbas berkata, “Panggil-memanggil dengan panggilan yang buruk adalah jika seseorang melakukan kebaikan, kemudian dia bertobat. Dalam hal ini, Allah melarang untuk mencela (seseorang) dengan apa yang telah dia kerjakan.” Hal itu ditunjukan oleh hadits yang diriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa yang mencela seorang mukmin karena dosa yang dia telah bertobat darinya, maka adalah hak Allah untuk mengujinya dengan dosa tersebut dan menghancurkannya karena dosa tersebut di dunia dan akhirat”. (HR Tirmidzi).
Ketiga :
Ada yang dikecualikan dari larangan panggil-memanggil dengan panggilan buruk, yaitu panggilan yang sudah biasa digunakan, seperti pincang dan bungkuk, dan orang yang dipanggil dengan panggilan ini tidak mempunyai kemampuan untuk lepas dari apa yang dipanggilkan kepadanya. Hal itu dibolehkan oleh ummat Islam dan telah disetujui oleh para penganut agama.
Yang patut dijadikan pedoman dalam hal ini, bahwa setiap panggilan yang tidak disukai oleh seseorang, maka jika dia dipanggil dengan panggilan yang tidak disukainya itu, maka hal itu tidak dibolehkan, karena akan menyakiti (yang dipanggilnya).
Al Bukhari membuat sebuah bab pada pembahasan etika di dalam kitab Al Jami’ Ash-Shahih, yaitu bab: Panggilan yang Boleh Digunakan untuk Memanggil Orang, Seperti Ucapan Mereka: ath-thawiil (si jangkung) dan al qashiir (si pendek), Namun Tidak Dimaksudkan untuk Menghina Seseorang. Al Bukhari berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Apa yang Dikatakan Dzul Yadain (Pemilik Dua Tangan)’.
Abu Abdillah bin Khuwaizimandad berkata, “Ayat ini mencakup larangan untuk memanggil manusia dengan panggilan yang tidak disukainya. Tapi dibolehkan memanggil mereka dengan panggilan yang disukainya. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi SAW menjuluki Umar denganAl Faruq, Abu Bakar denganAsh-Shiddiq, Utsman dan DzuNurain, Khuzaiman dengan Dzu Syahadatain, Abu Hurairah dengan Dzu Syimalain dan Dzul Yadain, dan yang lainnya.”
Az-Zamakhsyari berkata, ” Diriwayatkan dari Nabi SAW : diantara kewajiban seorang mukmin atas mukmin (yang lain) adalah memanggilnya dengan nama yang paling disukainya”. (Al Kasysyaf 4/41)
Oleh karena itu pemberian kuniyah termasuk perkara sunnah dan budi pekerti yang baik. Umar berkata, Populerkanlah kuniyah, sebab is dapat menjadi bahanpengingat. Abu Bakar dijuluki dengan Al Atiq danAsh-Shiddiq, Umar dijuluki dengan Al Faruq, Hamzah dijuluki dengan Asadullah, dan Khalid dijuluki dengan Saifullah. Jarang sekali tokoh terkenal baik pada masa jahiliyah maupun setelah Islam datang, yang tidak memiliki sebuah julukan. Julukan-julukan yang baik ini senantiasa hadir baik di kalangan bangsaArab maupun Non Arab, saat mereka berkomunikasi maupun saat mereka melakukan korespondensi, tanpa dapat diingkari”.
Al Mawardi” berkata, “Adapun julukan/panggilan yang disunnahkan dan dianggap baik, hal itu tidaklah dimakruhkan. Sebab Rasulullah SAW sendiri menyifati beberapa orang sahabatnya dengan sifat-sifat yang kemudian menjadi (identitas) mereka, hanya karena mereka dijuluki (dengan sifat-sifat tersebut)”.
Mnurut Al Qurtubhi : adapun julukan yang zhahimya tidak akan disukai, jika julukan ini dimaksudkan sebagai sifat bukan untuk mencela, hal itu banyak terjadi. Abdullah bin Al Mubarak pernah ditanya tentang (julukan untuk) beberapa: “Humaid yang jangkung, Sulaiman yang rabun, Humaid yang pincang, dan Marwan yang kecil.” Abdullah bin Al Mubarak berkata, “Jika engkau hendak menyifatinya dan tidak hendak menghinanya, itu tidak masalah”.
Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sirjis, dia berkata, “Aku pernah melihat Al Ashla ‘ (yang botak) —maksudnya Umar— mengecup Hajar Aswad.” Dalam sebuah riwayat dinyatakan: Al Ushaili’ (yang sedikit botak). (HR. Muslim).
Firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang tidak bertobat,” yakni dari perbuatan memanggil dengan panggilan yang menyakiti orang yang mendengarnya, “Maka mereka itulah orang-orang yang zhalim,” terhadap diri mereka, karena mereka melakukan perbuatan yang terlarang.
Jadi intinya kita tidak boleh merendahkan atau mencela orang lain karena kita belum tentu lebih baik dari orang yang kita cela, terkadang kita beralasan bahwa orang yang dicela tidak pernah marah, namun masalahnya bukan terletak pada marah atau tidaknya orang yang kita cela, akan tetapi seberapa patuh kita kepada Allah SWT. dengan menjauhi larangan-Nya.
Wallahu A’lam bisshawab.
Tinggalkan Balasan