Nilai standar Ujian Nasional yang semakin di tingkatkan ternyata tidak menjamin peningkatan kualitas lulusan, ini disebabkan beberapa hal yang kurang efektif dan kurang menjamin kualitas lulusan.
Diantaranya bentuk soal yang banyak dan agak sulit terkadang sangat sulit, akan tetapi semuanya berbentuk pilihan ganda, ini yang aku pribadi merasa sangat tidak menjamin, coba kita pikirkan, berapa banyak sih yang benar-benar menggunakan kompetensinya untuk menjawab soal-soal tersebut? kebanyakan siswa bukan malah mengandalkan kompetensi mereka tapi mengandalkan hoki alias untung-untungan, soal sesulit dan serumit apapun kalo bentuknya pilihan ganda, maka itulah yang akan terjadi, tidak semuanya tapi kebanyakan seperti itu mengandalkan hoki atau mengandalkan bantuan teman atau yang lainnya, seketat apapun pengawasannya, seberapa sulit sih memberi tahu teman jawaban soal pilihan ganda tanpa ketahuan pengawas? gampang sekali, cukup dengan kode-kode teman sudah bisa memahami jawabannya tanpa adanya kecurigaan dari pengawas, kenapa aku katakan gampang, karena aku yang dijadikan sumber jawaban, dan ini sama sekali tidak menjadikan ukuran kompetensi seseorang.
Kemudian sistem komputerisasi dengan menggunakan LJK, dengan alasan supaya lebih efisien, akan tetapi pernahkah kita berfikir, seberapa valid kah data yang dimasukan kedalam komputer? karena terkadang harusnya yang benar jawaban A, akan tetapi data dikomputer yang benar adalah B, bisakah komputer secara otomatis merubah jawabannya sendiri? kemudian cara menjawab yang terkadang memakan waktu dan harus rapi betul, bagaimana seandainya jawabannya benar tapi kurang rapi dalah membulatkan? orang yang berkompeten tapi jawabannya ada yang kurang rapi dalam membulatkan, tentu di komputer akan disalahkan walaupun jawabannya benar, lalu apakah seperti ini akan menjamin kompetensi lulusan?.
Kemudian nilai standar yang dijadikan ukuran mutlak kelulusan, seharusnya apabila mau menetapkan suatu Nilai standar mutlak kelulusan, perbaiki terlebih dahulu sistem ujiannya, apabila sistem ujian masih seperti itu, setinggi apapun nilai standarnya tidak akan menjamin kompetensi lulusan.
UN sebagai penentu kelulusan merupakan suatu kecerobohan, karena tidak disertai kelulusan AKHLAK lulusannya, bisa jadi orang yang akhlaknya baik tapi pada waktu ujian gak konsen atau tidak rapi dalam membulatkan tidak lulus, sebaliknya orang yang akhlaknya jelek tapi pada waktu ujian sedang hoki diluluskan, sehingga akhirnya banyak lulusan yang tidak berkompeten, seharusnya yang menentukan lulus atau tidaknya adalah gurunya sendiri, karena Guru lebih tahu mana siswa yang kompeten mana siswa yang tidak kompeten, Negara tahu apa sih tentang siswa?, makanya jangan heran banyak lulusan sekolah di indonesia tapi hidupnya mengandalkan hoki tanpa mempunyai kompetensi.
Janganlah dulu membandingkan dengan sistem pendidikan di Jepang ataupun di Jerman, terlau mengkhayal namanya, lihat saja dulu Al-Azhar mesir yang sistem pendidikannya serba manual, kebetulan aku punya Ammi yang kuliah disana, katanya disana ujian itu bentuknya ada 2, bukan hanya di Universitasnya saja tapi dari SD sampai Universitas juga seperti itu, yakni Tahriri (tulisan) dan Syafahy (lisan), dan ujian tulisannya bukan merupakan pilihan ganda tapi soal uraian semua, dan itu semua jawabannya bukan diperiksa dengan komputer lho tapi secara manual, akan tetapi walaupun secara manual tingkat validitasnya patut di acungi jempol, dan kalo menurut aku sistem Al-Azhar lebih menjamin kompetensi lulusannya. apalagi kalo membandingkan dengan Jepang maupun Jerman, sangat jauh berbeda.
Intinya kalau ingin menghasilkan lulusan yang kompeten bukan hanya dengan cara meningkatkan nilai standar kelulusan, tapi juga perbaiki dahulu sistemnya, kalau sistemnya belum efektif tapi terus meningkatkan standar kelulusan, mimpi namanya kalau menghasilkan lulusan yang kompeten.
Sorry ya semuanya jangan tersinggung, mudah-mudahan kita semua lulus tahun ini, Aamiin.
bagus, serus semangat dek afifah
makasih mas
sistem pengajaran atau kurikulum yang dipakai di indonesia sudah tidak lagi menggunakan standart tradisional, dalam artian, mereka lebih mengedepankan komputerisasi dari pada penilaian terhadap akhlak dan tingkah laku siswa di sekolah.
di mesir sendiri, Al-azhar masih “bangga” dengan sistem tradisionalnya, dengan mekanismenya, gurulah yang mempunyai andil dalam mencerdaskan murid2nya, meski sering kali si murid tidak diperbolehkan membantah apalagi berdebat dengan gurunya, hal demikian bukan berarti menafikan peran sang murid, akan tetapi Al-azhar berasumsi bahwa ketika seorang murid mencoba membantah gurunya, si murid masih dalam standart “lemah,” dari itu Al-azhar lebih memilih melarang murid2nya yg masih duduk di bangku S1 untuk membantah pendapat gurunya, dan ketika pada jenjang S2 si murid diberi kebebasan untuk mengkritik sang guru.
comment ini hanya sebatas sharing saja, dan yg jelas tulisan mbak Afifah bagus seklai, jangan berhenti berkarya mbak…TERUSKAN!!!
makasih ya komentarnya mas dedi, usyakirin awiy ya akhi
insya allah